Sabtu, 04 Oktober 2014
Fakta Thibbun Nabawi: Habbatus Sauda, Madu, dan Minyak Zaitun
Kamis, 15 April 2010
Pemilihan Kepala Desa Jerukpurut
Jerukpurut,Telah diadakah pesta demokrasi langsung untuk memilih Kepala Desa Jerukpurut sebagai pengganti kepala Desa yang lama yang mau berakhir masa jabatannya pada bulan April 2010 ini.
Desa Jerukpurut dengan luas + 507 Ha mempunyai hak pilih sejumlah 3.441 orang dan memiliki 6 dusun, masing-masing adalah Dusun Jerukpurut, Pojok, karangnongko, Gedang, Genengan dan Dieng. Di antara dusun tersebut Dusun Jerukpurut sendiri yang paling banyak penduduknya dan yang paling sedikit adalah penduduk dusun genengan.
Jumat, 30 Oktober 2009
URGENSI KEWALIAN, SYEIKH DAN MURID
Makna Wali
Apakah artinya Wali?
Untuk mengenal makna Wali, ada dua titik pandang: Pertama, Wali ber-wazan: fa’iil, bentuk mubalaghah dari faa’il, seperti `aliim, qadiir, dan yang sejenisnya. Makna terminologinya adalah: Orang yang senantiasa berkompeten dalam ketaatannya, tanpa dicelahi oleh kemaksiatan.
Kedua, bisa jadi bentuk fa’iil bermakna maf’uul, seperti qatiil bermakna maqtuul, dan jariih bermakna majruuh. Jadi Wali berarti orang yang dilindungi oleh Allah swt. dengan menjaga dan membentenginya untuk selalu langgeng dan terus menerus dalam ketaatan. Maka, bagi Wali tidak dihiasai akhlak kehinaan yang merupakan takdir kemaksiatan, tetapi Allah melanggengkan Taufiq-Nya yang merupakan takdir ketaatan kepada-Nya. Allah swt. berfiman:
“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Q.s. Al-A’raaf 196).
Ke-ma’shum-an Wali
Apakah Wali itu selalu terjaga dari dosa (ma’shum)?
Wali tidak harus bersyarat ma’shum, sebagaimana para Nabi. Namun bahwa Wali harus menjaga diri (mahfudz) agar tidak terus menerus melakukan dosa, apabila tergelincir atau salah, maka sifat menjaga diri itu memang tidak menghalangi untuk menjadi identitasnya.
Al-Junayd ditanya, “Apakah orang yang `arif itu pernah berzina?” Lalu Junayd tertunduk sejenak, kemudian mengangkat kepalanya, sembari membacakan ayat, “Dan adalah ketetapan Allah itu, suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Q.s. Al-Ahzaab: 38).
Bila ditanyakan, “Apakah rasa takut itu gugur dalam diri para Wali?” Dijawab, “Pada umumnya, para Wali besar, rasa takut itu telah gugur. Dan apa yang kami katakan, jika rasa takut itu ada, amat jarang sekali terjadi, dan hal itu tidak menghalanginya.”
As-Sary as-Saqathy berkata, “Bila salah seorang memasuki kebun yang penuh dengan pohon-pohon lebat, masing-masing pohon itu ada burungnya, lantas burung itu mengucapkan salam dengan bahasa yang jelas,Assalamu’alaikum wahai Wali Allah,’ jika sang Wali tadi tidak takut bahwa salam burung itu sebagai tipudaya, maka sebenarnya ia benar-benar tertipu.”
Melihat Allah dengan Mata
Apakah dibenarkan melihat Allah di dunia dengan mata, jika ditinjau dari perspektif karamah?
Jawabnya, “Pandangan yang kuat menegaskan penglihatan tersebut tidak dibenarkan, karena telah disepakati oleh Ulama. Tetapi aku mendengar ucapan Imam Abu Bakr bin Furak r.a. yang meriwayatkan dari Musa al-Asy’ary, beliau berkata, `Bahwa masalah melihat Allah di dunia dengan mata, ada dua pendapat’.” UngkapanAbu Musa ini ada di dalam Kitab ar-Ru’yatul Kabiir.
Perubahan Kondisi Ruhani Para Wali
Apakah seseorang bisa menjadi Wali dalam suatu kondisi ruhani tertentu, kemudian pada tahap berikutnya kondisi ruhani itu berubah? Dikatakan, “Bagi orang yang menjadikan syarat kewalian itu harus adanya ketepatan kondisi ruhani, maka perubahan itu tidak diperbolehkan. Namun bagi yang berpandangan, bahwa dalam kondisi ruhani tersebut dia beriman secara hakiki-walaupun kondisi ruhani bisa berubah setelah itu - maka bisa saja ia adalah Wali dan orang yang benar dalam kondisi ruhani tertentu, yang kemudian kondisi ruhaninya berubah. Inilah pandangan yang kami pilih.”
Di antara bagian karamah-karamah Wali itu, antara lain dia mengetahui jaminan rasa aman dari akibat-akibat yang terjadi. Dan akibat-akibat tersebut tidak merubah kondisi ruhaninya. Dengan statemen ini, akan berpadu dengan ungkapan di atas, bahwa seorang Wali itu boleh mengetahui bahwa dirinya adalah Wali.
Wali dan Tipudaya yang Ditakuti
Apakah rasa takut akan tipudaya/cobaan dari Allah itu bisa hilang dari diri Wali?
Dijawab, “Bila dia sirna dari obyek penyaksinya, terlebur dari rasanya dalam kondisi ruhaninya, maka dia adalah orang yang tersirnakan dari tipudaya karena limpahan kewalian yang ada padanya. Sedangkan rasa takut itu adalah bagian dari sifat-sifat kehadiran diri mereka.”
Wali dalam Keadaan Sadar
Apakah kondisi umum yang dialami oleh para Wali dalam keadaan sadar?
Dalam keadaan sadar mereka selalu bersikap benar dalam menyampaikan Hak-hak Allah swt. Mereka selalu memiliki rasa kasih sayang, kepedulian terhadap sesama makhluk dalam berbagai situasi dan kondisinya. Rasa cinta kasihnya melebar kepada siapa saja, kemudian tanggung jawab mereka terhadap sesama makhluk yang dilakukan dengan penuh budi dengan sikap mengawalinya. Semata hanya untuk mendapatkan kebajikan Allah swt. untuk mereka, tanpa tendensi apa pun dari mereka: Para Wali selalu memiliki ketergantungan hasrat atas keselamatan makhluk; meninggalkan segala bentuk tindakan yang menyakitkan mereka; menjaga perasaan agar tidak menimbulkan dendam mereka; membatasi tangannya untuk mendapatkan harta sesama; meninggalkan ketamakan dari berbagai arah terhadap apa yang menjadi milik mereka; mengekang ucapan mengenai keburukan-keburukan mereka; menjaga diri dari penyaksian terhadap kejelekan-kejelekan mereka; dan tidak pernah mencaci terhadap siapa pun di dunia maupun di akhirat.
Ke-ma’shum-an Para Syeikh
Tidak seyogyanya murid meyakini bahwa para syeikh (guru ruhani).itu ma’shum (terjaga dari dosa). Seharusnya murid berhati-hati dengan tetap husnudzan kepada para syeikh. Menjaga diri bersama Allah swt. dalam batas-batas yang berkaitan dengan perintah dan ilmu, dengan sikap membedakan antara mana yang terpuji dan mana yang tercela.
Murid dan Harta Dunia
Setiap murid, yang di dalam hatinya masih tersisa kepentingan harta dunia, maka meraih harta tersebut diperbolehkan. Tetapi bila dalam hatinya masih ada ikhtiar terhadap hal-hal yang keluar dari hartanya, kemudian ia berharap agar bisa mengkhususkan dari harta itu untuk kebaikan, berarti si murid itu telah memaksa dirinya. Lebih bahaya lagi bila ia kembali secepatnya kepada dunia. Sebab tujuan murid adalah membuang ketergantungan (selain Allah swt.), yaitu keluar dari dunia, bukannya berupaya untuk kepentingan amal-amal kebajikan. Sangat tercela, bila murid keluar dari obyek harta dan modalnya, lantas dia sendiri justru menjadi tawanan pekerjaannya. Karena itu seyogyanya dia menyamakan sikapnya, baik harta itu ada ataupun tidak, sampai dirinya tidak terganggu bayang-bayang kemiskinan, tidak membuat orang lain gelisah, walaupun orang lain itu Majusi.
Penerimaan Syeikh pada Murid
Penerimaan hati syeikh terhadap murid, merupakan bukti paling benar atas kebahagiaannya. Bila seseorang ditolak oleh hati syeikh, maka tidak diragukan lagi, dalam beberapa waktu penolakan itu akan menjadi nyata.
Bergaul dengan Orang yang Banyak Bicara
Salah satu penyakit yang amat pelik dalam tharikat ini adalah bergaul dengan orang yang banyak bicara (omong kosong). Sebab hati akan disibukkan dengan persoalan makhluk. Padahal Allah swt. berfirman:
“Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal di sisi Allah adalah perkara besar.” (Q.s. An-Nuur:15).
Fath al-Mushaly berkata, “Aku berguru kepada tiga puluh syeikh. Rata-rata mereka tergolong Wali Abdal.2 Semuanya berwasiat padaku
( ‘Abdal adalah golongan auliya’ yang saleh, dimana dunia tidak pernah sunyi dari mereka. Apabila salah seorang di antara mereka wafat, Allah swt. akan menggantikun posisi Abdal melalui orang yang diangkat-Nya. )
ketika aku berpisah dengan mereka, `Takutlah kalian bergaul dengan orang yang banyak obrolannya,’ kata para syeikh itu.”
Apa yang mereka ucapkan tentang berbagai keragu-raguan dan dongeng-dongeng dari orang tua, lebih baik kita turunkan tirai atas semua itu. Sebab cerita-cerita itu menjadi cermin kemusyrikan dan teman kekufuran. Na’udzubillahi Ta’ala dari datangnya keburukan.
Dengki
Di antara penyakit murid adalah hasrat yang memasuki nafsunya, berupa kedengkian terhadap sesama teman, dan merasa emosi atas keistimewaan yang diberikan oleh Allah swt. pada temannya dalam tharikat ini. Sementara dia sendiri tidak mendapatkan seperti yang diraih oleh yang lain. Ketahuilah, bahwa semua perkara itu telah dibagi oleh Allah swt. Hamba hanya bisa selamat, apabila si hamba lebih mencukupkan diri pada Wujud Allah swt. Yang Haq, dan menerima apa pun ketentuan dari Kemurahan dan Kenikmatan-Nya.
Prioritas
Ketahuilah, bahwa kewajiban murid apabila sudah sepakat terjun, harus memprioritaskan yang lain secara total dibanding diri sendiri. Baik orang yang lapar ataupun orang yang kenyang harus diprioritaskan, dibanding dirinya. Dia juga harus merasa menjadi murid setiap orang yang jelas sebagai syeikh, walaupun dia sendiri lebih pandai dari orang tersebut.
Gerak
Adapun etika murid dalam sama’, maka bagi murid tidak diperkenankan bergerak-gerak dalam sima’ yang muncul karena ikhtiarnya sendiri. Apabila muncul bisikan ruhani, sedangkan dirinya tidak mampu menahan gerak, maka sekadar ekspresi luapan bisikan yang menyebabkan gerak, masih ditolerir. Apabila luapan ruhani yang datang tadi sudah hilang, dia harus tetap duduk dan tenang. Apabila dia meneruskan gerak untuk menarik ekstase, tanpa adanya limpahan dan desakan/darurat, maka gerak dalam sima’nya tidak dibenarkan. Bila masih kembali demikian, berarti dia tidak mendapatkan keterbukaan hakikat.
Pergi dan Berpindah Tempat
Apabila murid diuji dengan pangkat kedudukan atau pergaulan omong kosong, serta mulai jatuh cinta pada wanita, sementara tidak ada syeikh yang menunjukkan jalan keluarnya, dia boleh pergi dan pindah tempat.
Di antara para syeikh berkata, “Bila seorang `arif berbicara mengenai ilmu pengetahuan, maka masa bodohkan dia: Sebab seharusnya seorang `arif mengkabarkan tentang tahapan-tahapan, bukan ilmu pengetahuan. Bagi yang ilmunya lebih dominan dibanding tahapan-tahapannya, maka dia adalah pakar ilmu, bukannya penempuh suluk.”
Peduli pada Para Fakir
Bila murid peduli membantu pada para fakir, maka hiburan hati mereka adalah rasa lapangnya terhadap murid. Karena itu tidak seyogyanya murid kontra terhadap kata hatinya, sehingga dalam berkhidmat pada kaum fakir harus benar-benar ikhlas, mencurahkan tenaganya semaksimal mungkin.
Sabar atas Celaan
Apabila murid memilih menjalani darma baktinya bagi orang-orang fakir, dia harus sabar dengan celaan orang banyak. Dia juga harus berbuat sepenuh jiwa dalam darma baktinya terhadap mereka.
Apabila mereka tidak memuji atas kepeduliannya, dia harus mencerca dirinya, agar hati para fakir itu lega. Walaupun dia mengerti bahwa dirinya sebenarnya tidak bersalah.
Bila orang-orang semakin mencacinya, dia harus menambah pengabdian dan kebaikan kepada mereka. Karena saya mendengar Imam Abu Bakr bin Furak berkata, “Bila engkau tidak sabar di atas palu, maka mengapa engkau menjadi landasan palu?”
Menjaga Adab Syariat
Didasarkan pula pada kaitan di atas, seorang murid harus menjaga adab syariat, menjaga tangannya untuk tidak meraih hal-hal yang haram dan syubhat, menjaga indera dari hal-hal yang diharamkan, menyertai nafas bersama Allah swt. dengan menjauhkan dari segala kealpaan, tidak menuangkan racun jiwa yang di dalamnya ada syubhat di bejana darurat. Apalagi di waktu-waktu yang bebas dan luang untuk ikhtiar.
Di antara perilaku murid adalah melanggengkan mujahadah dalam meninggalkan syahwat. Siapa yang bersesuaian dengan syahwatnya, akan sirna kesuciannya. Perilaku terburuk bagi murid justru ketika dia kembali lagi kepada syahwat yang pernah ditinggalkan.
Menjaga Janji dengan Allah Swt.
Bagi murid harus menjaga janji bersama Allah swt. Apabila ia merusak janji di jalan cita-cita, la sebanding dengan murtad dari agama, bagi kalangan ahli dzahir. Bagi seorang murid seyogyanya tidak berjanji dengan Allah swt. terhadap segala hal dengan ikhtiar dan kemauannya sendiri. Sebab, dalam keharusan-keharusan syariat, ada sesuatu yang harus dipenuhi semaksimal mungkin. Allah swt. berfirman, “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memelihara dengan pemeliharaan yang semestinya.” (Q.s. Al-Hadiid;27)
Menjauhi Penghamba Duniawi
Di antara perilaku murid, hendaknya menjauhkan diri dari penghamba dunia. Bergaul dengan mereka adalah racun yang mematikan. Karena mereka menyerap potensi murid, sedangkan jiwa murid semakin berkurang bersama mereka. “Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, dan menuruti hawa nafsunya.” (Q.s. Al-Kahfi: 28).
Orang-orang zuhud mengeluarkan harta dari kantongnya demi taqarrub kepada Allah swt. Sedangkan -ahli tasawuf mengeluarkan makhluk dan ilmu pengetahuan dari hatinya, untuk melebur dalam hakikat bersama Allah swt. - Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Rabu, 07 Oktober 2009
HASIL PENILAIAN PORTOFOLIO GURU DEPAG KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2009
HASIL PENILAIAN PORTOFOLIO GURU DEPAG KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2009
Yang telah lama dinanti, kini telah datang. Pengumuman hasil penilaian portofolio koata tahun 2009 bagi guru di lingkungan Depag kota/kab yang menjadi wilayah kerja PSG 15 UM
1. Hasil Penilian Portofolio Guru Depag Kabupaten Pasuruan Tahun 2009 yang dinilai PSG15 ( UM
2. Hasil Penilian Portofolio Guru Depag Tahun 2009 yang dinilai LPTK IAIN Sunan Ampel Surabaya
Selain melalui website, pengumuman ini juga diberikan ke kantor Depag masing-masing
Selamat ya…bagi yang LULUS dan sabar ya… bagi yang TIDAK LULUS. Ingat teman-teman…! Lulus dan tidak Lulus anda adalah jalan terbaik yang diberikan Allah.
Rabu, 30 September 2009
ISY KARIMAN AU MUT SYAHIDAN
"ISY KARIMAN AU MUT SYAHIDAN"
( Slogan Pembangkit Militansi )
Dengan mengenakan jaket agak longgar dan mengenakan ikat pinggang disertai bahan peledak sekitar lima kilogram, Omar dengan tenang berjalan ke pasar, pusat keramaian warga Israel. Tak lama kemudian terdengar ledakan, sedikitnya 12 orang meninggal dan 30 orang terluka. Omar ikut meninggal bersama mereka.
Bagaimana mesti memahami serentetan peristiwa bunuh diri dengan bom seperti yang dilakukan Omar di Palestina itu? Demikian juga yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini? Para psikolog Barat dengan segera menyimpulkan bahwa mental mereka sakit. Namun, sekarang mulai berkembang berbagai teori yang hendak menjelaskan mengapa ada sekelompok pemuda yang antusias melakukan bunuh diri dengan meledakkan bom.
Dari hasil penelitian terhadap 400 anggota Al Qaidah, 90 persen datang dari keluarga yang hangat dan baik-baik, usia berkisar 18-38 tahun. Dua per tiga sarjana, memiliki keluarga, dan mayoritas bekerja dalam bidang sains dan engineering. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dalam lingkungannya. Jadi, anggapan bahwa mereka memiliki mental sakit (abnormal psychology) dianggap tidak tepat.
Ada juga teori cuci otak (brainwashed). Ibarat komputer, program dan memori lama dihapus, lalu diganti dengan yang baru. Caranya, dihadirkan fakta dan argumen serta indoktrinasi adanya musuh besar yang hendak menghancurkan diri dan kelompoknya. Dalam konteks radikalisme Islam, agresi Israel yang didukung AS sudah cukup sebagai amunisi untuk mengobarkan semangat mati syahid, terutama bagi pemuda-pemuda Palestina.
Seperti ditunjukkan oleh berbagai penelitian sosial, radikalisme-terorisme itu pada mulanya bersifat sekuler, yaitu perlawanan terhadap musuh luar yang hendak merampas dan menguasai tanah air mereka. Keberanian mati dengan menerjang kekuatan musuh dibuktikan secara impresif, misalnya, oleh pasukan Kamikaze Jepang dan tentara Vietnam. Semangat dan kesiapan mati itu menguat ketika ditambah amunisi keyakinan agama bahwa mati melawan orang kafir itu termasuk mati syahid, imbalannya surga. Semangat itu berkobar di kalangan pemuda-pemuda Palestina dan dulu di Indonesia ketika melawan penjajah Belanda. Dengan teriakan Allahu Akbar dan senjata bambu runcing, para pejuang itu siap menjemput maut yang diyakini pintu gerbang menuju surga.
Berbagai peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memerlukan analisis dan studi khusus, mengingat Indonesia bukanlah Palestina, bukan Afganistan, bukan pula daerah perang melawan penjajah Belanda seperti zaman dulu. Bahkan, umat Islam Indonesia saat ini memiliki surplus kebebasan daripada semasa Orde Baru. Pintu terbuka lebar untuk mendirikan partai politik Islam. Bank Syariah bermunculan, dakwah pun tanpa izin. Bahkan, melalui parpol dan ormas Islam serta Departeman Agama, berbagai aspirasi untuk melaksanakan ajaran Islam sangat kondusif.
Oleh karena itu, tindakan radikalisme-terorisme dengan dalih membela Islam menjadi slogan dan tindakan anomali di Indonesia yang dikenal sebagai kantong umat Islam terbesar itu. Terlebih lagi yang menjadi korban juga sesama muslim.
Kalah dan Marah
Secara psikologis, para teroris itu sesungguhnya orang yang kalah dan putus asa. Mereka merasa terancam oleh musuh besar yang sulit dikalahkan dengan diplomasi dan perang sehingga jalan termurah dan heroik, menurut mereka, adalah melalui teror. Meminjam logika ekonomi, dengan teror bom bunuh diri, modal yang dikeluarkan sedikit, namun diharapkan hasilnya besar, berlipat-lipat. Tapi, logika ini sangat menyesatkan karena justru umat Islam secara umum sangat dirugikan oleh tindakan sekelompok teroris tersebut, jauh lebih besar kerugiannya ketimbang pihak lawan yang dijadikan sasaran. Kalau mereka maksudnya membela Islam, benarkah posisi Islam dan umatnya menjadi lebih baik?
Jadi, di balik antusiasme untuk ''mati syahid'', sesungguhnya secara psikologis mereka itu merupakan komunitas yang merasa kalah dalam persaingan politik, ekonomi, dan militer. Lalu, mereka marah dan membalas dendam di luar medan perang dan yang menjadi saran adalah masyarakat sipil tanpa senjata. Situasi itu sangat bertolak belakang dari apa yang dilakukan Salahuddin Al Ayyubi, panglima Perang Salib, yang justru mengajak gencatan senjata karena Richard the Lion Heart, panglima pihak Kristen, lagi sakit. Bahkan, Al Ayyubi mengutus dokter pribadinya untuk mengobati dia. Setelah Richard sehat, perang dimulai lagi.
Akar dari terorisme-radikalisme itu, antara lain, adalah krisis kepercayaan diri, krisis rasa aman, krisis ekonomi, dan krisis ilmu pengetahuan. Dengan begitu, yang muncul adalah marah, dendam, mengamuk di luar medan tempur, dan ujungnya melakukan bom bunuh diri. Dulu Rasulullah dan para sahabat ketika menaklukkan Makkah tak ada darah yang menetes. Meskipun, para sahabat sudah sangat siap dan bersemangat untuk berperang. Yang terjadi justru pengampunan masal dan memperkuat kembali tali persaudaraan.
Itu terjadi karena umat Islam sangat percaya diri secara militer, namun yang lebih penting lagi Rasulullah senang pada perdamaian dan melarang balas dendam kepada musuh-musuhnya. Sikap ramah dan toleran juga diperlihatkan oleh umat Islam pada abad tengah, ketika secara ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan tidak merasa terancam, bahkan unggul.
Sejak masih di pesantren, saya sudah terbiasa mendengar slogan Isy kariman au mut syahidan, hiduplah terhormat atau mati syahid. Slogan itu sangat cocok dan dapat dimengerti ketika umat Islam berada dalam medan tempur, misalnya, ketika Tariq bin Ziyad dan tentaranya hendak menaklukkan Andalusia dulu. Agar semangat jihad anak buahnya tetap tinggi, setelah mendarat di Andalusia, semua kapal dibakar sehingga tak ada pilihan lain kecuali menghadapi musuh. Di situlah Tariq bin Ziyad menyampaikan pidato agitatif yang sangat terkenal dan diajarkan di lingkungan pesantren.
Kira-kira isi pidato tersebut demikian: Saudara-saudaraku seiman, di belakang Anda adalah lautan. Di depan adalah musuh. Kalau hati Anda kecut dan ingin lari, lautan akan menyambutmu dan Anda akan mati konyol karena kapalmu telah tiada. Tetapi, kalau Anda serbu dan lawan musuh, kemenangan di tangan Anda. Kejayaan di dunia dengan memenangi perang atau kejayaan di akhirat kalau Anda mati.
Untuk jangka waktu sekitar lima abad, Andalusia dikuasi Islam dan menjadi pusat peradaban dunia. Kini peperangan sudah berganti medan, dari perang fisik ke perang ekonomi, sains, persenjataan, dan peradaban. Rupanya, Jepang sangat sadar perubahan ini setelah kalah dalam Perang Dunia. Mereka tidak lagi mengandalkan pasukan berani mati dalam menghadapi supremasi Barat, tetapi mereka melakukan revolusi pendidikan, teknologi, dan industri sehingga negara dan bangsa yang kecil itu disegani Barat.
Meminjam bahasa pesantren, Jepang berjihad membangun peradaban dan merebut keunggulan dalam hidup, bukan mengandalkan keberanian untuk mati. Dunia Islam mestinya belajar dari Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan kalau ingin memenangi pertempuran melawan Barat. Bukankah kejayaan Islam pada abad tengah disangga oleh kemajuan ilmu pengetahuan, bukan pertempuran, kemarahan, kebencian, dan putus asa menjalani kehidupan?
Hiduplah terhormat karena berhasil membangun prestasi peradaban. Dan, siapa yang mati membebaskan umat dari kemiskinan dan kebodohan dengan niat ibadah, insya Allah, termasuk mati syahid.
Komaruddin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rabu, 27 Mei 2009
IKHLAS ADALAH ROH SEGALA AMAL DAN KUNCI KEBAHAGIAAN DUNIA AKHERAT
Jangan takut bila perbuatan kita tidak diketahui atau tidak dipuji orang; karena pujian orang tidak ada artinya bila Allah menolaknya; tetapi takutlah bila perbutan kita ditolak oleh Allah karena tidak ada keikhlasan didalamya.
Ikhlash adalah ruh dari sekecil apa-pun amal perbuatan kita, dan ikhlash merupakan kunci menuju kebahagiaan.
Ikhlashkan niatmu, niscaya kamu akan memperoleh balasan amalmu meskipun amalmu itu sedikit.
Harus kita sadari, bahwa kita diciptakan dan hidup di dunia ini hanyalah untuk mengabdi kepada Allah SWT., mengumpulkan amal saleh dari detik ke detik, dari hari ke hari sebanyak-banyaknya sebagai bekal untuk mencapai ridha Allah SWT. Tidak ada artinya hidup kita, apabila kita kerahkan hanya untuk mencari kenikmatan dunia semata, kerena dunia ini hanya sementara. Kita pasti akan meninggalkannya cepat atau lambat tapi pasti. Tidak ada gunanya kita bekerja keras hanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsu, karena hawa nafsu hanya panggilan sesaat yang setelah itu ia akan hilang meniggalkan dosa-dosa dan menodai harga diri kita.
Ikhlash dalam arti bahwa kita bekerja apa pun hanya dengan niat untuk meraih ridha Allah semata, karena hanya dengan ikhlash inilah kebahagiaan abadi akan kita raih. Segala bentuk amal, yang besar sekalipun nilainya dimata manusia, tidak ada artinya dihadapan Allah apabila tidak dibarengi dengan keihklasan. Namun sebaliknya, sekecil apapun perbuatan kita dimata mansuia, apabila dibarengi dengan niat yang ikhlash, amal kita akan menjadi sangat besar nilainya dihadapan Allah, dan ia akan menjadi mercusuar bagi kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat.
Rasulullah SAW. telah berwasiat kepada Abu Dzar Al-Ghifari dengan sabdanya :
”Wahai Abu Dzar ! Perbaharuilah perahumu, karena sesungguhnya lautan itu sangat dalam; Ambilah bekal yang cukup, karena sesungguhnya perjalanan itu sangat jauh; Ringankanlah beban bawaan, karena sesungguhnya rintangan itu sangat sulit untuk dilalui; Ikhlaslah dalam beramal, karena sesunggunya inspektur penilai (Dzat Allah) Maha Melihat”.
Yang dimaksud dengan memperbaharui perahu adalah memperbaiki, meluruskan dan menjaga niat dalam setiap amal dan perbuatan yang kita lakukan (Ikhlash). Dan maksud agar kita memperingan beban, yaitu jangan banyak-banyak mengambil keduniawian yang nantinya akan kita pertanggung jawabkan dihadapan Allah.
Adapun kehidupan akhirat dilukiskan dengan lautan yang sangat dalam, perjalanan yang sangat jauh, dan rintangan yang sangat sulit dilalui karena banyaknya kesulitan, rintangan, godaan dan tantangan yang menghadang kita untuk sampai dan menggapai kebahagiaan Akhirat.
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata : ”Beruntunglah orang-orang yang dalam hidupnya beramal dengan niat hanya mengharap ridha Allah”.
Rasulullah SAW. bersabda : ”Seandainya sesorang diantara kalian melakukan suatu kebaikan di tengah padang sahara yang sangat sepi, dalam ruangan yang tertutup rapat tanpa pintu, amal itu suatu saat pasti akan ketahuan juga”.
Rabu, 29 April 2009
Syahwat Politik Itu Jauh Lebih Besar Ketimbang Syahwat Harta
Tahta atau kuasa (al-jah) selalu diminati, bahkan diperebutkan oleh manusia sepanjang waktu. Alasannya, karena manusia mengira, dengan memiliki kuasa, ia akan menggapai apa saja yang menjadi keinginannya. Tak heran bila daya tarik (baca: syahwat) politik itu begitu tinggi. Menurut Imam Ghazali, syahwat politik itu jauh lebih besar ketimbang syahwat harta. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama, kuasa dapat mendatangkan harta. Dengan kuasa, manusia bisa menumpuk kekayaan. Tidak demikian sebaliknya. Diakui, untuk mencapai kuasa, manusia butuh harta, tetapi tidak setiap orang yang telah menghabiskan begitu banyak harta, dengan sendirinya ia mencapai tahta.
Kedua, kuasa menimbulkan efek popularitas yang luar biasa. Begitu seorang dinobatkan sebagai pejabat, demikian Ghazali, maka seketika itu ia akan menjadi masyhur di seluruh pelosok negeri. Dalam dunia modern, popularitas itu akan bertambah besar bila ia mampu memanfaatkan dukungan media
Ketiga, pengaruh kuasa relatif lebih dalam dan tahan lama. Pada sebagian orang, pengaruh kuasa menimbulkan loyalitas yang sangat tinggi, bahkan kesetiaan sampai mati. Tidak demikian dengan pengaruh harta.
Kuasa sebagai sesuatu yang secara alamiah digandrungi manusia, tentu bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama. Setiap orang, demikian Ghazali, boleh mendapatkannya, asalkan dengan cara yang baik (halal) dan dipergunakan untuk kebaikan pula. Dalam hal ini, ada dua hal menurut Ghazali yang perlu diperhatikan.
Pertama, kita tak boleh mencapai tahta dengan cara-cara yang tidak halal, seperti menipu, berbuat curang atau menunjukkan kualitas agama dengan berpura-pura menjadi orang shaleh. Perbuatan yang terakhir ini dinilai Ghazali sebagai kejahatan besar (jarimah) terhadap agama.
Kedua, setelah mencapai kuasa, orang diminta agar bekerja keras dan menggunakan kuasa yang dimiliki untuk kesejahteraan rakyat. Di sini berlaku kaidah tasharruf al-imam manuth bi al-mashlahat (sepak terjang seorang imam harus relevan dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat).
Demi kesejahteraan rakyat, ia dituntut agar berbuat jujur dan adil, serta amanah. Inilah makna firman Allah, 'Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.' (QS An-Nisa [4]: 58). Wallahu a′lam.
Masa Muda, Waktu Utama Untuk Beramal Sholeh
Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.
Wahai Pemuda, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda,
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)
Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.
Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati
Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,
ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ
“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)
Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu
Lakukanlah
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.”
Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.”
Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.”
Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: “Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”
Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”
Al Munawi mengatakan,
فَهِذِهِ الخَمْسَةُ لَا يَعْرِفُ قَدْرَهَا إِلاَّ بَعْدَ زَوَالِهَا
“
Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu semangat untuk beramal di saat masa remaja, setelah dia nanti berada di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.
Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk Waktu Tuanya
Dalam
Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-6)
Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah.
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal.” Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.
An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)
Begitu juga kita dapat melihat pada
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh (segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada
Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.
Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.
Daud Ath Tho’i mengatakan,
إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة حتى ينتهي ذلك بهم إلى آخر سفرهم ، فإن استطعت أن تـُـقدِّم في كل مرحلة زاداً لما بين يديها فافعل ، فإن انقطاع السفر عن قريب ما هو ، والأمر أعجل من ذلك ، فتزوّد لسفرك ، واقض ما أنت قاض من أمرك ، فكأنك بالأمر قد بَغَـتـَـك
Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh Abdurrahman As Suhaim)
Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)
Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.